Contoh bisnis yang mati di era digital – Teknologi digital yang berkembang seperti saat ini mengubah segalanya. Perubahan tersebut membawa dampak positif dan juga negatif. Dampak positifnya semakin banyak yang pengusaha muda dengan bisnis digitalnya yang bermunculan, sedangkan negatifnya banyak bisnis yang dulunya menguasai pasar kini harus gulung tikar. Penyebab bisnis tersebut bangkrut dan gulung tikar dikarenakan mereka tidak siap dengan perkembangan dan perubahan digital yang ada. Berikut ini ada beberapa contoh bisnis yang mati di era digital yang bisa dijadikan sebagai bahan pembelajaran:
Kodak
Membicarakan bisnis yang mati di era digital pikiran langsung mengarah ke mantan raksasa bisnis Kodak. Kodak sendiri merupakan perusahaan kamera yang mana meluncur di pasar Amerika Serikat dimana didirikan pada tahun 1888, diciptakan oleh pria yang tidak lulus SMA bernama George Eastman. Saat itu masyarakat sudah hobi berfoto sehingga tidak mengherankan jika Kodak ini sangat laku keras di pasaran. Tercatat di tahun 1896 Kodak diproduksi secara besar-besaran dengan jumlah kurang lebih 100 unit dan semuanya laku keras di pasaran. Tidak cukup sampai disitu, Kodak ini juga memproduksi keras foto dan gulungan film dengan panjang 400 meter per bulannya untuk memenuhi permintaan pasar yang cukup besar saat itu.
Sayangnya Kodak bersikap tidak cekatan dan tidak siap untuk menghadapi tren digital yang sudah ada saat itu. Kodak ini pun tetap kekeh dengan prinsip bisnisnya selama ini yang mana mengagungkan kamera menggunakan film. Akhirnya kegagalan Kodak benar-benar terjadi pada tanggal 19 januari 2014 tepatnya selama 124 tahun setelah didirikan. Raksasa yang dulunya menguasai bisnis dalam bidang kamera dan roll film akhirnya harus gulung tikar dan mengajukan permohonan perlindungan kebangkrutan kepailitan AS. Coba saja jika Kodak peka dan mengikuti tren digital yang berlaku seperti saat ini, tentu saat ini perusahaan raksasa tersebut masih beroperasi sampai sekarang.
Toys’R’Us
Contoh bisnis yang mati di era digital selanjutnya adalah Toys’R’Us. Yang menyebabkan perusahaan ini bangkrut dikarenakan tidak bisa membaca tren yang berada di luar. Sinyal perubahan yang ada selama ini tidak bisa terbaca oleh mereka sehingga terlambat untuk melakukan perubahan mengikuti trend tersebut. Andai jika sinyal tersebut ditangkap lebih dini pasti perubahan akan mampu menyelamatkan mereka. Perusahaan menganggap jika kondisinya akan sama seperti biasanya dan bisa tumbuh selamanya. Tidak jarang pula mencari kambing hitam dari kebangkrutan yang dialaminya misalnya adalah manajer penjualan, konsultan bisnis atau bahkan kebijakan maupun regulasi yang ditetapkan pemerintah. Sebenarnya jika di telisik lebih dalam kegagalan tersebut berasal dari dalam atau internal bukan eksternal.
Toys’R’Us sendiri merupakan perusahaan yang terkena dampak dari revolusi digital ini yang mana bergerak dalam penjualan mainan global. Sebelum bangkrut Toys’R’Us memiliki jaringan 1600 toko dan tersebar dalam 38 negara namun kini perusahaan tersebut harus tumbang dan terpaksa mengajukan perlindungan dari kebangkrutan. CEO dari perusahaan tersebut mengatakan bahwa penyebab kebangkrutannya dikarenakan gempuran dari toko ritel online seperti Amazon yang mana sampai saat ini menjadi peritel online paling besar di Amerika Serikat.
Disc Tarra
Contoh bisnis yang mati di era digital selanjutnya adalah Disc Tarra. Pada akhir tahun 2015 publik di tanah air dikejutkan dengan kabar yang beredar bahwa Disc Tarra akan menutup beberapa outlet yang mereka miliki. Namun kenyataannya di tahun 2016 yang mengejutkan adalah Disc Tarra justru menutup semua outlet mereka. Disc Tarra ini pun menjadi korban dari revolusi digital yang sedang marak saat ini. Penyebabnya karena pola konsumen yang berubah dimana lebih menyukai menikmati musik menggunakan media digital yang canggih dibandingkan dengan menggunakan kaset atau CD yang dibeli di konvensional. Selain itu musik digital memiliki beberapa kelebihan dibandingkan dengan yang dikemas dalam CD yaitu lebih awet dan tahan lama. Selama file musik tersebut tidak hilang atau terkena virus akan tetap bisa dinikmati, sedangkan jika CD rusak musik tersebut tidak akan bisa dinikmati lagi.
Blockbuster
Sebelum revolusi digital terjadi, Blockbuster ini merajai industri penyewaan film yang ada di Amerika Serikat. Jaringan ini sudah bisa bertahan dari transisi video dari format VHS menuju DVD. Sayangnya Blockbuster tidak mampu bertahan saat pola konsumen berubah dengan menyukai format digital yang lebih canggih. Saat itu pun Blockbuster sudah cukup kewalahan menahan gempuran dari Netflix Inc yang menawarkan film dengan format digital dan memiliki strategi agresif yang tak kenal ampun. Akhirnya di awal tahun 2013 lalu Blockbuster menyatakan diri pailit dan menutup semua cabangnya yang tersebar di beberapa belahan dunia. Cukup tragis dan mengejutkan memang.
Revolusi digital memang membawa perubahan yang luar biasa tidak hanya untuk kehidupan manusia namun juga dari segi bisnis. Untuk bisa sukses dan terus bertahan pebisnis harus bisa beradaptasi dengan perkembangan teknologi digital yang terus terjadi. Jika tidak akan dipastikan jumlah korban dari revolusi digital semakin banyak. Selain beberapa contoh bisnis yang mati di era digital yang disebutkan di atas, di perkirakan akan ada korban lainnya terutama yang saat ini masih berbisnis secara offline seperti media cetak dan transportasi konvensional.
Tags: apa saja Bisnis Yang Mati Di Era Digital Bisnis Yang Mati Di Era Digital Bisnis Yang Mati Di Era Digital 2018 Bisnis Yang Mati Di Era Digital terbaru Contoh Bisnis Yang Mati Di Era Digital